BAB
I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Segala
ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam yang kita kenal sebagai hadits.
Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan
sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Para sahabat khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur’an, selalu
mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an di atas alat-alat yang mungkin
dipergunakannya. Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat
memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan
ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang
selama hadits belum diabadikan dalam tulisan.
Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi Saw, muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis
hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan secara bertahap, seiring dengan
makin banyaknya sahabat yang wafat, penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan
pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.
BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN HADITS MASA TABI’IN DAN KODIFIKASINYA
A. Perkembangan Hadits Masa Tabi’in
Pengertian Tabi’in adalah orang islam yang bertemu dengan sahabat,
berguru dan belajar kepada sahabat, tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan
tidak pula semasa dengan beliau. Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), kendali
kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang
pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634
M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman bin
Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat
khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan
periodenya disebut dengan zaman sahabat besar (Fazlur Rahman menyebut sahabat
senior) (Mudasir. 1999.93).
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar
dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang
bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih
hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode
al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis
diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M),
Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat
73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M) (Mudasir. 1999.94).
Sesudah masa Khulafaur
rasyidin, timbulah usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tata cara periwayatan
hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan
erat dengan upaya ulama untuk meyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan
hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada
periode khulafaur rasyidin. Kalangan Tabi’in telah semakin banyak yang aktif
meriwayatkan hadits. Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi
ciri khas yang paling menonjol, karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan
telah ditetapkan. Luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memacu
munculnya hadits-hadits
palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman, umat Islam terpecah-pecah
dan masing-masing
lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada
periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda
dengan yang dilakukan oleh para sahabat, karena mereka mengikuti jejak para
sahabat yang menjadi guru mereka. Hanya persoalan yang dihadapi oleh kalangan
tabi’in yang berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Quran
sudah dikumpulkan pada satu mushaf dan para sahabat ahli hadis telah menyebar
ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Sehingga para tabi’in dapat mempelajari
hadis dari mereka. Ketika pemerintahan dipegang oleh bani ummayah perluasan
wilayah kekuasaan berkembang pesat dan juga semakin meningkatnya penyebaran
para sahabat ke daerah-daerah tersebut. Sehingga pada masa ini dikenal dengan
masa penyebaran periwayatan hadis (intisyar Ar-Riwayah lla Al Amshar). Terdapat beberapa kota yang menjadi pusat
pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam
mencari hadis yaitu madinah Al-Munawarah, Mekah Al-mukaramah, kufah, basrah,
Syam, Mesir, magrib,
andalas, yaman dan khurasan. Pusat pembinaan pertama adalah madinah karena di
sinilah Rasullah SAW menetap dan hijrah serta membina masyarakat islam
(Mudasir. 1999.94).
a.
Diantara para sahabat yang membina hadis di mekah adalah sebagai berikut
Mu’adz bin jabal, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin Thalhah, dan Uqbah
bin Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari sini adalah mujahid bin
Jabar, Ata’ bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan, dan Ikrimah maula Ibnu Abbas
(Mudasir. 1999.94).
b.
Diantara para sahabat yang membina hadis di kufah ialah Ali bin Abi Thalib,
Saad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas’ud. Diantara para tabi’in yang muncul
disini ialah Ar-Rabi’ bin Qasim, Kamal bin Zaid An-Nakhai’, Said bin Zubair
Al-Asadi, Amir bin Sarahil Asy-Sya’ibi, Ibrahim Ankha’I, dan Abu Ishak As-Sa’bi
(Mudasir. 1999.95).
c.
Diantara para sahabat yang membina hadis di Basrah ialah Anas bin Malik,
Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, Ma’qal bin Yasar, Abdurrahman bin Samrah,
dan Abu said Al-Anshari. Diantara para tabi’in yang muncul disini adalah Hasan
Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub As-sakhyatani, Yunus bin Ubaid, Abdullah
bin Aun, Khatadah bin Du’amah As-sudusi, dan Hisyam bin Hasan (Mudasir.
1999.95).
d.
Diantara para sahabat yang membina hadis di Syam ialah Abu Ubaidah
Al-Jarah, Bilal bin Rabah, Ubadah Bin shamit, Mu’adz bin Jabal, Sa’ad bin
Ubadah, Abu darda Surahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan Iyad bin Ghanan.
Para tabi’in yang muncul disini ialah salim bin abdillah al-muharibi, Abu Idris
Al-khaulani, Umar bin Hanna’I (Mudasir. 1999.95).
e.
Diantara para sahabat yang membina hadis di mesir ialah Amr bin Al-as,
Uqubah bin Amr, Kharijah bin Huzafah, dan Abdullah bin Al-Haris. Para tabi’in
yang muncul disini ialah Amr bin Al-Haris, nKhair bin Nu’aimi Al-Hadrami, Yazid
bin Abi Habib, Abdullah bin Jafar dan Abdullah bin Sulaiman Ath-Thawil
(Mudasir. 1999.95)
f.
Diantara para sahabat yang membina hadis di magrib dan andalus ialah Mas’ud
bin Al-Aswad Al-Balwi, Bilal bin haris bin asim Al-muzaid. Para tabi’in yang
munc ul disini adalah Ziyad bin An-Am Al-Mu’afil, Abdurrahman bin Ziyad, Yazid
bin Abi Mansur, Al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa’ah bin Ra’fi dan Muslim bin
Yasar (Mudasir. 1999.95).
g.
Diantara para sahabat yang membina hadis di Yaman adalah Muadz bin jabal
dan Abu Musa Al-Asy’an. Para tabi’in yang muncul disini diantaranya adalah
Hammam bin Munabah dan Wahab bin Munabah, Tawus dan Mamar bin Rasid (Mudasir.
1999.95).
h.
Diantara para sahabat yang membina hadis di kharasan adalah Abdullah bin
Qasim Al-Aslami, dan Qasm biun sabit Al-Anshari, Ali bin Sabit Al-Anshari,
Yahyab bin Sabih Al-Mugari (Mudasir. 1999.95).
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat yaitu setelah
terjadinya perang jamal dan perang suffin berakibat cukup panjang dan
berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam menjadi beberapa kelompok. Secara
langsung ataupun tidak pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh terhadap
perkembangan hadis berikutnya,
baik pengaruh yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif. Pengaruh yang bersifat negatif adalah munculnya hadis-hadis palsu untuk
mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan
posisi lawannya. Pengaruh yang bersifat positif adalah terciptanya rencana dan
usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya
penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan
politik tersebut (Mudasir. 1999.96).
B.
Kodifikasi
Hadis
Dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan
hadis secara resmi yang diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk
membukukan hadits terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan hadits,
ia meminta pendapat para sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah Umar
bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut.
Pada masa tabi’in wilayah islam bertambah luas.
Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan
ajaran ilsam di daerah- daerah, termasuk ulama hadis. Penyebaran hadis
disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri, sehingga
tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut sebagai
alasan kodifikasi hadis.
Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin al-hadis
tentunya berbeda dengan penulisan hadis kitabah al-hadis. Tadwin al-hadis
mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan, dan
susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari
lembaga kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu
sendiri asal mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda,
perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa disaksikan oleh sahabat
itu lalu disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara lisan
maupun tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru merupakan
tulisan- tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi. Sedangkan
perbedaan-perbedaan antara kodifikasi hadis secara resmi dari penulisan hadis
adalah sebagai berikut:
1. Kodifikasi
hadis secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif
yang diakui masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh perorangan.
yang diakui masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh perorangan.
2. Kegiatan
kodifikasi hadis tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan,
menghimpun, dan mendokumentaskannya.
menghimpun, dan mendokumentaskannya.
3. Tadwin
hadis dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala perangkat yang dianggap
berkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang
tertentu.
C.
Peran
Umar Bin Abdul Aziz Dalam Kodifikasi
Secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan
beberapa personil, yang ahli dalam khalifah, dengan melibatkan beberapa
personil yang ahli dalam masalah ini. Bukan dilakukan secara perorangan atau
untuk kepentingan pribadi, seperti terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui instruksi kepada Abu
Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah
agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Di antara
isntruksinya kepada para ulama Madinah:
“perhatikan atau periksalah hadits-hadits
Rasulullah, kemudian himpunlah ia”
Demikian
juga surat khalifah yang dikirim kepada Ibnu Hazm
“Tulislah kepadaku apa yang tetap padamu
dari pada hadits Rasulullah,
sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama”.
sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama”.
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin
Hazm agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-
Anshari (wafat 98H) murid kepercayaan siti ‘Aisyah. Dan alQasim bin Muhammad
bin Abi Bakar (wafat 107H). instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada
Muhammad bin Syihab Al-Zuhri (wafat 124H), yang dinilainya sebagai orang yang
lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang lainnya. Peranan para ulama hadis,
khususnya al-Zuhri, sangat mendapat penghargaan dari seluruh umat Islam.
Mengingat pentingnya pernana al-Zuhri ini, para ulama di masanya memberikan
komentar, bahwa jika tanpa dia, di antara hadis-hadis niscaya hadis sudah
banyak yang hilang.
Beberapa pokok mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil
kebijaksanaan seperti ini.
ü
Pertama ia khawatir hilangnya hadis-hadis,
dengan menginggalnya para ulama di medan perang.
ü
Kedua ia khawatir akan tercampurnya antara
hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu.
ü
Ketiga bahwa dengan semakin meluasnya daerah
kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang
lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adapun cara periwayatan hadits pada masa Tabi’in, yang mengikuti jejak
para sahabat, periwayatan haditsnya pun tidak jauh berbeda. Hanya saja pada
masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada masa tabi’in
timbul usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits.
Apalagi sejak semakin maraknya hadits-hadits palsu yang muncul dari beberapa
golongan untuk kepentingan politik.
ü Kodifikasi
hadis secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif
yang diakui masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh perorangan.
yang diakui masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh perorangan.
ü Kegiatan
kodifikasi hadis tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan,
menghimpun, dan mendokumentaskannya.
menghimpun, dan mendokumentaskannya.
ü Tadwin
hadis dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala perangkat yang dianggap
berkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang
tertentu.
B. SARAN
Demikian pembahasan dari makalah kami. Kami berharap
semoga pembahasan dalam makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi pembaca.
Dan kami pun berharap pula kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan
dalam tugas kami selanjutnya. Sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Mudasir.1999. Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
http://bisnis-bola.blogspot.com/2011/06/sejarah-kodifikasi-hadist.html
http://abinafiah.blogspot.com/2009/12/ulumul-hadits.html
PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA TABIIN DAN KODIFIKASINYA
M
A K A L A H
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Pada Mata Kuliah :
“QUR’AN HADITS 2”
Di Susun Oleh ;
Kelompok :
V (Lima)
1.
SARWIN
2.
JAYA
WARDANA
Dosen
pembimbing :
NURASYIAH,
M.PdI
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
( STIT ) YPI KERINCI
T.A. 2011/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar