BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didalamnya tercampur antara rasa
(dzauq) tasawuf dan pemikliran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan rasio
lebih dekat dengan filsafat. Adapun ciri dari filsafat falsafi adalah menyusun
teori-teori wujud berlandaskan rasa atau kajian proses bersatunya Tuhan dengan
manusia dan tasawuf ini bersifat pemikiran dan renungan.
Tasawuf falsafi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai lawan dari tasawuf
sunny yakni tasawuf yang ajarannya diklaim sebagai yang sesuai dengan tradisi
(sunnah) Nabi dan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian reaksi terhadap tasawuf
semi falsafi maupun falsafi dilakukan oleh mereka yang dianggap membela sunnah
Nabi. Reaksi terhadap tasawuf semi falsafi dilakukan oleh al-Quyairi,
al-Harawy, al-Ghazali dan lain sebagainya. Dan reaksi terhadap tasawuf falsafi
ditandai dengan munculnya (ordo) tarikat yang diantara yang latarbelakangnya
adalah untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada pada koridor syari’at.
Dalam kesempatan kali ini, kami berusaha untuk membahas lebih dalam tentang
pengertian ittihad, pengertian dan tujuan hulul,. Oleh karena itu, mari kita
bahas bersama-sama.
B. RUMUSAN
MASALAH
A. Pengertian Ittihad
B. Pengertian dan tujuan Hulul
BAB II
PEMBAHASAN
ITTIHAD DAN HULUL
A. ITTIHAD
Pengertian Ittihad sebagaimana disebutkan dalam sufi
terminologi Ittihad adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi satu.
Ittihad merupakan doktrin yang menyimpang dimana di dalamnya terjadi proses
pemaksaan antara dua ekssistensi. Kata ini berasal dari kata wahd atau wahdah
yang berarti satu atau tunggal. Jadi Ittihad artinyabersatunya manusia
denganTuhan.
Tokoh pembawa faham ittihad adalah Abu Yazid
Al-busthami[1]. Menurutnya manusia adalah pancaran
Nur Ilahi,oleh karena itu manusia hilang kesadaranya (sebagai manusia) maka
pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi
atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan[2].
Menurut Bayazid (Al-Busthami) disebut ‘tajrid fana
at-tauhid’, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa ada perantara apapun.
Situasi ittihad itu diperjelas oleh Bayazid dalam ungkapannya, “Tuhan
berkata: Semua mereka kecuali engkau, adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata: Aku
adalah Engkau, Engkau adalah Aku”.[3]
Selanjutnya Abu Yazid berkata:[4]
“Saya
inilah Allah, tiada Tuhan selain Aku, sembahlah Aku”.
Pada
lain kali Abu Yazid, berkata:[5]
“yang
ada dalam baju ini adalah Allah”.
Secara harfiah, ungkapan-ungkapan Bayazid itu adalah
pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi
sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya ‘Aku adalah Engkau bukan
ia maksudkan akunya Bayazid pribadi’. Dialog yang terjadi ketika itu pada
hakikatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan
melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs. Pada saat
bersatunya Bayazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada
pada ketika itu hanya satu wujud yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapan itu pada
hakikatnya adalah kata-kata Tuhan.[6]
Bagi orang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai
penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras berpegang kepada
agama, itu dipandang sebagai kekufuran. Paham ittihad ini selanjutnya dapat
mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Dengan demikian untuk mencapai
hulul dan wahdatul wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitu melalui fana dan
baqa.[7]
B. Al-Hulul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat
dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan
sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.[8]
Paham bahwa Allah mengambil tempat pada diri manusia
ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hajaj yang mengatakan bahwa pada diri
manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan Nasut (kemanusiaan).
Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama
at-thawasin.[9]
Doktrin al-hulul adalah perkembangan lebih lanjut dari
paham al-ittihad secara lebih mendalam lagi, dimana Tuhan mengambil tempat pada
diri manusia yang sudah bersih dari sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses
fana atau ekstase. Konsepsi al-hulul diperkenalkan pertama kali oleh Husein Ibn
Mansur al-Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Baghdad pada tahun 308
H, karena paham yang ia sebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa
itu.
Menurut al-Hallaj[10], manusia mempunyai sifat dasar yang
ganda, yaitu sifat ke-Tuhan-an atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut.
Begitu juga dengan Tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau
Lahut dan sifat insaniyah atau nasut. Jika seseorang mampu menghilangkan
sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui
fana, maka terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud
dengan hulul.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya
tentang proses kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat, bahwa Adam sebagai
manusia pertama diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya –shurrah min
nafsih- dengan segenap sifat dan kebesarannya.
Al-Hallaj mengatakan bahwa konsepsi lahut dan nasut
berdasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 34 :
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#r߉àfó™$# tPyŠKy (#ÿr߉yf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=öÎ) 4’n1r& uŽy9õ3tFó™$#ur tb%x.ur z`ÏB šúïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
Artinya: “Dan (Ingatlah) ketika kami
berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” Maka sujudlah
mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir.”
Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar
Malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri
Adam sehingga ia harus di sembah sebagaimana menyembah Allah.
Ungkapan al-Halaj tersebut dapat dipahami bahwa wujud
manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna, bersifat figuratif,
tidak riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam
iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya, maka makna
perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan ke dalam citra-Nya yang ada dalam
diri manusia, bukan hubungan manusia dengan Tuhan secara riel. Oleh karena itu,
ucapan ana al-Haqq yang meluncur dari lidah al-Hallaj, bukanlah ia maksudkan
sebagai pernyataaan bahwa dirinya adalah Tuhan.[11]
/
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ittihad adalah penggabungan antara dua hal yang
menjadi satu. Ittihad merupakan doktrin yang menyimpang dimana di dalamnya
terjadi proses pemaksaan antara dua ekssistensi. Kata ini berasal dari kata
wahd atau wahdah yang berarti satu atau tunggal. Jadi Ittihad artinyabersatunya
manusia denganTuhan.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat
dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan
sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.
Paham bahwa Allah mengambil tempat pada diri manusia
ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hajaj yang mengatakan bahwa pada diri
manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan Nasut (kemanusiaan).
Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama
at-thawasin.
B.
SARAN
Demikian pembahasan dari makalah kami. Kami berharap
semoga pembahasan dalam makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi pembaca.
Dan kami pun berharap pula kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan
dalam tugas kami selanjutnya. Sekian dan terima kasih.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, 2011,cetke-10, Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Nasution, Harun, falsafah dan Mistisisme dalam Islam, 1983 Jakarta:
Bulan Bintang
Siregar, H.A. Rivay. Tasawuf: Dari
Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. 2002, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
ITTIHAD
DAN HULUL
M A K A L A H
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah :
“Akidah
Akhlak II”
Di
Susun Oleh ;
Kelompok :
VII
1.
SARWIN
2.
SAPRIADI
Dosen pembimbing :
Drs. Abdulrahman, M.Ph
SEKOLAH TINGGI ILMU
TARBIYAH
( STIT ) YPI KERINCI
T.A. 2011/2012
[1] Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid
al-Bustami (w. 874 M), beliau disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali
memperkenalkan paham fana dan baqa. Nama kecilnya Thaifur.
[2] Harun
nasution, falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), cet ke-3, hlm. 82
[3] Ibid, h.85
[4] A.
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.154
[5] Abuddin
Nata, M.A. Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011),
cet ke-10, hlm.237
[6] A.
Rivay Siregar, op.cit, hlm. 154
[8] Ibid,
239, dikutib dari buku karangan A. Qadir Mahmud, hlm. 337
[9] Ibid,
hlm. 240
[10]Al-Hajaj adalah tokoh yang
mengembangkan paham al-Hulul. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mnsur al-Hajaj.
Ia lahir tahun 244 H (858 H) di Baidha, salah satu kot kecil di persia.
Nama-nama gurunya adalah Sahl bin Abdullah al-Tustur dinegeri Ahwaz, kemudian
bersama Amr al-Maliki di Basrah, dan di kota Baghdad bersama tokoh sufi juga
yaitu al-Junaid.
[11] A.
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 155-158
Terima kasih atas adanya makalah ini, karena ini merupakan salah satu referensi yang sangat membantu saya dalam pembuatan tugas perkuliahan bidang studi Akhlak....syukron
BalasHapus