Minggu, 06 April 2014

makalah pengertian ijtihad dan hulul



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didalamnya tercampur antara rasa (dzauq) tasawuf dan pemikliran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan rasio lebih dekat dengan filsafat. Adapun ciri dari filsafat falsafi adalah menyusun teori-teori wujud berlandaskan rasa atau kajian proses bersatunya Tuhan dengan manusia dan tasawuf ini bersifat pemikiran dan renungan.

Tasawuf falsafi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai lawan dari tasawuf sunny yakni tasawuf yang ajarannya diklaim sebagai yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian reaksi terhadap tasawuf semi falsafi maupun falsafi dilakukan oleh mereka yang dianggap membela sunnah Nabi. Reaksi terhadap tasawuf semi falsafi dilakukan oleh al-Quyairi, al-Harawy, al-Ghazali dan lain sebagainya. Dan reaksi terhadap tasawuf falsafi ditandai dengan munculnya (ordo) tarikat yang diantara yang latarbelakangnya adalah untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada pada koridor syari’at.

Dalam kesempatan kali ini, kami berusaha untuk membahas lebih dalam tentang pengertian ittihad, pengertian dan tujuan hulul,. Oleh karena itu, mari kita bahas bersama-sama.

 B. RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian Ittihad
B. Pengertian dan tujuan Hulul



BAB II
PEMBAHASAN
ITTIHAD DAN HULUL

A.    ITTIHAD
Pengertian Ittihad sebagaimana disebutkan dalam sufi terminologi Ittihad adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi satu. Ittihad merupakan doktrin yang menyimpang dimana di dalamnya terjadi proses pemaksaan antara dua ekssistensi. Kata ini berasal dari kata wahd atau wahdah yang berarti satu atau tunggal. Jadi Ittihad artinyabersatunya manusia denganTuhan.

Tokoh pembawa faham ittihad adalah Abu Yazid Al-busthami[1]. Menurutnya manusia adalah pancaran Nur Ilahi,oleh karena itu manusia hilang kesadaranya (sebagai manusia) maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan[2].

Menurut Bayazid (Al-Busthami) disebut ‘tajrid fana at-tauhid’, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa ada perantara apapun. Situasi ittihad itu diperjelas oleh Bayazid dalam ungkapannya, “Tuhan berkata: Semua mereka kecuali engkau, adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku”.[3]

Selanjutnya Abu Yazid berkata:[4]
“Saya inilah Allah, tiada Tuhan selain Aku, sembahlah Aku”.
Pada lain kali Abu Yazid, berkata:[5]
“yang ada dalam baju ini adalah Allah”.

Secara harfiah, ungkapan-ungkapan Bayazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya ‘Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi’. Dialog yang terjadi ketika itu pada hakikatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs. Pada saat bersatunya Bayazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapan itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan.[6]

Bagi orang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras berpegang kepada agama, itu dipandang sebagai kekufuran. Paham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Dengan demikian untuk mencapai hulul dan wahdatul wujud pun sama dengan al-ittihad, yaitu melalui fana dan baqa.[7]

B.     Al-Hulul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.[8]

Paham bahwa Allah mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hajaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan Nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama at-thawasin.[9]

Doktrin al-hulul adalah perkembangan lebih lanjut dari paham al-ittihad secara lebih mendalam lagi, dimana Tuhan mengambil tempat pada diri manusia yang sudah bersih dari sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses fana atau ekstase. Konsepsi al-hulul diperkenalkan pertama kali oleh Husein Ibn Mansur al-Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Baghdad pada tahun 308 H, karena paham yang ia sebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.

Menurut al-Hallaj[10], manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ke-Tuhan-an atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Begitu juga dengan Tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau Lahut dan sifat insaniyah atau nasut. Jika seseorang mampu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.

Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat, bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya –shurrah min nafsih- dengan segenap sifat dan kebesarannya.

Al-Hallaj mengatakan bahwa konsepsi lahut dan nasut berdasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 34 :
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyŠKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=öÎ) 4n1r& uŽy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ  
Artinya: “Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”

Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar Malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus di sembah sebagaimana menyembah Allah.

Ungkapan al-Halaj tersebut dapat dipahami bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna, bersifat figuratif, tidak riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya, maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan ke dalam citra-Nya yang ada dalam diri manusia, bukan hubungan manusia dengan Tuhan secara riel. Oleh karena itu, ucapan ana al-Haqq yang meluncur dari lidah al-Hallaj, bukanlah ia maksudkan sebagai pernyataaan bahwa dirinya adalah Tuhan.[11]

/



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Ittihad adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi satu. Ittihad merupakan doktrin yang menyimpang dimana di dalamnya terjadi proses pemaksaan antara dua ekssistensi. Kata ini berasal dari kata wahd atau wahdah yang berarti satu atau tunggal. Jadi Ittihad artinyabersatunya manusia denganTuhan.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.  

Paham bahwa Allah mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hajaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan Nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama at-thawasin.

B.     SARAN
Demikian pembahasan dari makalah kami. Kami berharap semoga pembahasan dalam makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi pembaca. Dan kami pun berharap pula kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan dalam tugas kami selanjutnya. Sekian dan terima kasih.





                                  


6
 
 
DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, 2011,cetke-10, Jakarta: Raja Grafindo Persada


Nasution, Harun, falsafah dan Mistisisme dalam Islam, 1983 Jakarta: Bulan Bintang
Siregar, H.A. Rivay. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. 2002, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada




























ITTIHAD DAN HULUL
M A K A L A H
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah :
“Akidah Akhlak II”

Description: D:\LOGO\STIT.gif



Di Susun Oleh ;
Kelompok : VII
1.        SARWIN
2.        SAPRIADI


Dosen pembimbing :
Drs. Abdulrahman, M.Ph


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
( STIT ) YPI KERINCI
T.A. 2011/2012



[1] Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami (w. 874 M), beliau disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa. Nama kecilnya Thaifur.
[2] Harun nasution, falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet ke-3, hlm. 82
[3] Ibid, h.85
[4] A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.154
[5] Abuddin Nata, M.A.  Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), cet ke-10, hlm.237
[6] A. Rivay Siregar, op.cit, hlm. 154
[7] Abuddin Nata, M.A., op.cit, hlm. 237
[8] Ibid, 239, dikutib dari buku karangan A. Qadir Mahmud, hlm. 337
[9] Ibid, hlm. 240
[10]Al-Hajaj adalah tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mnsur al-Hajaj. Ia lahir tahun 244 H (858 H) di Baidha, salah satu kot kecil di persia. Nama-nama gurunya adalah Sahl bin Abdullah al-Tustur dinegeri Ahwaz, kemudian bersama Amr al-Maliki di Basrah, dan di kota Baghdad bersama tokoh sufi juga yaitu al-Junaid.
[11] A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 155-158

1 komentar:

  1. Terima kasih atas adanya makalah ini, karena ini merupakan salah satu referensi yang sangat membantu saya dalam pembuatan tugas perkuliahan bidang studi Akhlak....syukron

    BalasHapus