BAB I
PENDAHULUAN
Sejak zaman pra sejarah, penduduk kepulauan
Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas.
Sejak awal masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara
kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah
Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang
menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik
bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India.
Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku dipasarkan di Jawa dan
Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan
penting di Sumatra dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi para pedagang
asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa dan
Gresik di Jawa.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah.
Mereka tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang
berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di
Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun
belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
Maka
oleh karenanya pemakalah membahas tentang” Masuk
Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia” dengan pembahasan sebagai berikut:
1
|
BAB II
PEMBAHASAN
MASUK DAN PERKEMBANGAN
ISLAM DI INDONESIA
A. Masuknya Islam Ke Indonesia
Islam masuk ke Indonesia
pada abad pertama Hijrah atau abad ke tujuh/ke delapan masehi. Ini mungkin
didasarkan pada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama
Fatimah binti Maimun di Leran dekat Surabaya yang bertahun 475 H atau 1082 M.
Sedangkan menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi
Samudra Pasai dalam perjalanannya ke Negeri Cina pada 1345M, Agama islam yang
bermadzhab Syafi’I telah mantap disana selama seabad. Oleh karena itu, abad
XIII biasanya dianggap sebagai masa awal masuknya agama Islam ke Indonesia.
Adapun daerah pertama yang
dikunjungi adalah pesisir Utara pulau Sumatera. Mereka membentuk masyarakat
Islam pertama di Peureulak Aceh Timur yang kemudian meluas sampai bisa
mendirikan kerajaan Islam pertama di Samudera pasai, Aceh Utara.
Sekitar permulaan abad XV,
Islam telah memperkuat kedudukannya di Malaka, pusat rute perdagangan Asia
Tenggara yang kemudian melebarkan sayapnya ke wilayah-wilayah Indonesia
lainnya. Pada permulaan abad tersebut, Islam sudah bisa menjejakkan kakinya ke
Maluku, dan yang terpenting ke beberapa kota perdagangan di Pesisir Utara Pulau
Jawa yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan
Majapahit. Dalam waktu yang tidak terlalu lama yakni permulaan abad XVII,
dengan masuk islamnya penguasa kerajaan Mataram yaitu Sulthan Agung, kemenangan
agama tersebut hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.
2
|
Berbeda dengan pendapat
diatas, S.M.N. Al-Attas berpendapat bahwa pada tahap pertama islam di Indonesia
yang menonjol adalah aspek hukumnya bukan aspek mistiknya karena ia melihat
bahwa kecenderungan penafsiran al-Quran secara mistik itu baru terjadi antara
1400-1700 M.
Akan tetapi, sejak
pertengahan abad XIX, agama islam Indonesia secara bertahap mulai meninggalkan
sifat-sifatnya yang sinkretik setelah banyak orang Indonesia yang mengadakan
hubungan dengan Mekkah dengan cara melakukan ibadah haji. Apalagi setelah
transportasi laut yang makin membaik, semakin banyaklah orang Indonesia yang
melakukan ibadah haji bahkan sebagian mereka ada yang bermukim bertahun-tahun
lamanya untuk mempelajari ajaran islam dari pusatnya, dan ketika kembali ke
Indonesia mereka menjadi penyebar aliran islam yang ortodoks.[1]
Masuknya Islam ke Indonesia menurut pendapat lain ada
3 teori yaitu teori Persia, Teori Gujarat dan Teori Mekah, yaitu penjelasannya
sebagai berikut: :
1. Teori Persia
1. Teori Persia
Teori ini dibangun oleh P.A. Hussein Djayadiningrat.
Teori ini lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di
kalangan masyarakat Islam di Indonesia yang dirasakan memiliki persamaan dengan
Persia. Salah satu persamaan tersebut adalah : Peringatan 10 Muharram atau
Asyura sebagai peringatan syiah atas kematian Syahidnya Husain.
2. Teori Gujarat
Teori Gujarat adalah teori yang menyatakan bahwa
datangnya Islam di Indonesia berasal dari Gujarat. Teori ini dikemukakan oleh
Snouck Hurgronye. Dengan alasan agama Islam disebarluaskan melalui jalan dagang
antara Indonesia dengan Cambay (Gujarat).
Menurut J.C. Van Leur, masuknya Islam pada 7 M bukan pada 13 M. Sedangkan pada abad 13 M itu perkembangannya.
Menurut J.C. Van Leur, masuknya Islam pada 7 M bukan pada 13 M. Sedangkan pada abad 13 M itu perkembangannya.
3.
Teori
Mekah
Teori ini dipelopori Hamka. Ia berpendapat tersebut karena
Mekah sebagai pusat agama Islam. Dan ia menolak pendapat bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-13 sebab Islam masuk Indonesia jauh sebelum abad ke-7.
B. Corak dan Perkembangan Islam di Indonesia
1. Masa Kesulthanan
Untuk melihat lebih jelas
gambaran keislaman di kesultanan atau kerajaan-kerajaan Islam akan di uraikan
sebagai berikut.
Di daerah-daerah yang
sedikit sekali di sentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti daerah-daerah Aceh
dan Minangkabau di Sumatera dan Banten di Jawa, Agama Islam secara mendalam
mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga
di daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah menunjukkan di dalam bentuk
yang lebih murni.
Di kerajaan Banjar, dengan
masuk Islamnya raja, perkembangan Islam selanjutnya tidak begitu sulit karena
raja menunjangnya dengan fasilitas dan kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya
mebawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan Islam.
Secara konkrit, kehidupan keagamaan di kerajaan banjar ini diwujudkan dengan
adanya mufti dan qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam
bidang fiqih dan tasawuf. Di kerajaan ini, telah berhasil pengodifikasian
hukum-hukum yang sepenuhnya berorientasi pada hukum islam yang dinamakan
Undang-Undang Sultan Adam. Dalam Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan
mufti mirip dengan Mahkamah Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau
perlu berfungsi sebagai lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa.
Tercatat dalam sejarah Banjar, di berlakukannya hukum bunuh bagi orang
murtad, hukum potong tangan untuk pencuri dan mendera bagi yang kedapatan
berbuat zina.
Pada akhirnya kedudukan
Sultan di Banjar bukan hanya pemegang kekuasaan dalam kerajaan, tetapi lebih
jauh diakui sebagai Ulul amri kaum Muslimin di seluruh kerajaan itu.
Untuk memacu penyabaran
agama Islam, didirikan sebuah organisasi yang Bayangkare Islah (pengawal usaha
kebaikan). Itulah organisasi pertama yang menjalankan program secara sistematis
sebagai berikut:
a. Pulau Jawa dan Madura dibagi menjadi beberapa
wilayah kerja para wali.
b. Guna memadu penyebaran agama Islam, hendaklah di
usahakan agar Islam dan tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang lainnya.
c. Hendaklah di bangun sebuah mesjid yang menjadi
pusat pendidikan Islam.
Dengan kelonggaran-kelonggaran
tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa kerajaan untuk memeluk agama Islam.
Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan syari’at Islam ke daerah
kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama tersebut dan akan melaksanakan ajarannya.
Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya.
Ini seperti ketika di pimpin oleh Sultan Agung. Ketika Sultan Agung
masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan Mataram ikut pula
masuk Islam seperti kerajaan Cirebon, Priangan dan lain sebagainya. Lalu Sultan
Agung menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan dengan istilah-istilah
keislaman, meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan arti sebenarnya.
2. Masa Penjajahan
Ditengah-tengah proses
transformasi sosial yang relative damai itu, datanglah pedagang-pedagang Barat,
yaitu portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan Inggris. Tujuannya
adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir
kepulauan Nusantara ini.
Pada mulanya mereka datang
ke Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan dagang karena Indonesia kaya akan
rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan
menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi setelah kedatangan
Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan Arab,
pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah
Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan
di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang di kenal
dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah Islam
dalam tiga kategori, yaitu:
a. Bidang agama murni atau ibadah;
b. Bidang sosial kemasyarakatan; dan
c. Politik.
Terhadap bidang agama murni, pemerintah colonial
memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya
sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah
memamfaatkan adat kebiasaan yang berlaku sehingga pada waktu itu dicetuskanlah
teori untuk membatasi keberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie yang
maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan
dengan alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah
melarang keras orang Islam membahas hukum Islam baik dari Al-Qur’an maupun
Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.[2]
3. Gerakan dan organisasi Islam
Akibat dari “resep
politik Islam”-nya Snouck Hurgronye itu, menjelang permulaan abad xx umat Islam
Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga tayangan dari
pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide etimpera, politik penindasan
dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Untuk sementara pihak
pemerintah colonial berhasil mencapai sasarannya, yakni beberapa golongan Islam
dapat di pecah-belah, perlawanan dapat dipatahkan dengan kekerasan senjata,
sebagian besar golongan Islam yang di pedalaman dapat terus diisolasi dalam
alam ketakhayulan dan kemusyrikan, dan sebagian lagi memasuki aparatur
kepegawaian colonial rendahan.
Namun, ajaran Islam pada
hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Dengan
pengalaman tersebut, orang Islam bangkit dengan menggunakan taktik baru, bukan
dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh karena itu,
masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya
kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan
sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran
pembaruan Islam di Mesir.
Akibat dari situasi ini,
timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah pemikir-pemikir
politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat Islam itu berdasarkan
ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islamlah yang dapat
di terima dalam organisasi tersebut, para pejabat dan pemerintahan
(pangreh praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan antara
partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan antara pemimpin
Islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di kalangan
santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir yang
mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah
menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua
kubu: para cendekiawan Muslimin berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama
tradisional.
Selama pendudukan jepang,
pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin dari pada golongan
nasionalis karena mereka berusaha menggunakan agama untuk tujuan perang mereka.
Oelh karena itu, ada tiga prantara politik berikut ini yang merupakan hasil
bentukan pemerintah Jepang yang menguntungkan kaum muslimin.
1. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang
menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda.
2. Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura
Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943.
3. Hizbullah, (Partai Allah dan Angkatan Allah),
semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda Muslimin yang dipimpin oleh
Zainul Arifin.[3]
C. Periode Pendidikan Islam Di Indonesia
1. Masa Kesulthanan
Untuk melihat lebih jelas
gambaran keislaman di kesultanan atau kerajaan-kerajaan Islam akan di uraikan
sebagai berikut.
Di daerah-daerah yang
sedikit sekali di sentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti daerah-daerah Aceh
dan Minangkabau di Sumatera dan Banten di Jawa, Agama Islam secara mendalam
mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga
di daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah menunjukkan di dalam bentuk
yang lebih murni.
Di kerajaan Banjar, dengan
masuk Islamnya raja, perkembangan Islam selanjutnya tidak begitu sulit karena
raja menunjangnya dengan fasilitas dan kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya
mebawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan Islam.
Secara konkrit, kehidupan keagamaan di kerajaan banjar ini diwujudkan dengan
adanya mufti dan qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam
bidang fiqih dan tasawuf. Di kerajaan ini, telah berhasil pengodifikasian
hukum-hukum yang sepenuhnya berorientasi pada hukum islam yang dinamakan
Undang-Undang Sultan Adam. Dalam Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan
mufti mirip dengan Mahkamah Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau
perlu berfungsi sebagai lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa.
Tercatat dalam sejarah Banjar, di berlakukannya hukum bunuh bagi orang
murtad, hukum potong tangan untuk pencuri dan mendera bagi yang kedapatan
berbuat zina.
Pada akhirnya kedudukan
Sultan di Banjar bukan hanya pemegang kekuasaan dalam kerajaan, tetapi lebih
jauh diakui sebagai Ulul amri kaum Muslimin di seluruh kerajaan itu.
Untuk memacu penyabaran agama
Islam, didirikan sebuah organisasi yang Bayangkare Islah (pengawal usaha
kebaikan). Itulah organisasi pertama yang menjalankan program secara sistematis
sebagai berikut:
d. Pulau Jawa dan Madura dibagi menjadi beberapa
wilayah kerja para wali.
e. Guna memadu penyebaran agama Islam, hendaklah di
usahakan agar Islam dan tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang lainnya.
f. Hendaklah di bangun sebuah mesjid yang menjadi
pusat pendidikan Islam.
Dengan
kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa kerajaan
untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan
syari’at Islam ke daerah kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama tersebut dan
akan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada
di bawah kekuasaannya. Ini seperti ketika di pimpin oleh Sultan
Agung. Ketika Sultan Agung masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah
kekuasaan Mataram ikut pula masuk Islam seperti kerajaan Cirebon, Priangan dan
lain sebagainya. Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan
dengan istilah-istilah keislaman, meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan
arti sebenarnya.
2. Masa Penjajahan
Ditengah-tengah proses
transformasi sosial yang relative damai itu, datanglah pedagang-pedagang Barat,
yaitu portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan Inggris. Tujuannya
adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir
kepulauan Nusantara ini.
Pada mulanya mereka datang
ke Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan dagang karena Indonesia kaya akan
rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan
menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi setelah kedatangan
Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan Arab,
pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah
Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan
di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang di kenal
dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah Islam
dalam tiga kategori, yaitu:
d. Bidang agama murni atau ibadah;
e. Bidang sosial kemasyarakatan; dan
f. Politik.
Terhadap bidang agama murni, pemerintah colonial
memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya
sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah
memamfaatkan adat kebiasaan yang berlaku sehingga pada waktu itu dicetuskanlah
teori untuk membatasi keberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie yang
maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan
dengan alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah
melarang keras orang Islam membahas hukum Islam baik dari Al-Qur’an maupun
Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.[4]
4. Gerakan dan organisasi Islam
Akibat dari “resep
politik Islam”-nya Snouck Hurgronye itu, menjelang permulaan abad xx umat Islam
Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga tayangan dari
pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide etimpera, politik penindasan
dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Untuk sementara pihak
pemerintah colonial berhasil mencapai sasarannya, yakni beberapa golongan Islam
dapat di pecah-belah, perlawanan dapat dipatahkan dengan kekerasan senjata,
sebagian besar golongan Islam yang di pedalaman dapat terus diisolasi dalam
alam ketakhayulan dan kemusyrikan, dan sebagian lagi memasuki aparatur
kepegawaian colonial rendahan.
Namun, ajaran Islam pada
hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Dengan
pengalaman tersebut, orang Islam bangkit dengan menggunakan taktik baru, bukan
dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh karena itu,
masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya
kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan
sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran
pembaruan Islam di Mesir.
Akibat dari situasi ini,
timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah pemikir-pemikir
politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat Islam itu berdasarkan
ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islamlah yang dapat
di terima dalam organisasi tersebut, para pejabat dan pemerintahan
(pangreh praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan antara
partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan antara pemimpin
Islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di kalangan
santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir yang
mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah menimbulkan
perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua kubu: para
cendekiawan Muslimin berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama
tradisional.
Selama pendudukan jepang,
pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin dari pada golongan
nasionalis karena mereka berusaha menggunakan agama untuk tujuan perang mereka.
Oelh karena itu, ada tiga prantara politik berikut ini yang merupakan hasil
bentukan pemerintah Jepang yang menguntungkan kaum muslimin.
1. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang
menggantikan Kantor Urusan Pribumi
zaman Belanda.
2. Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura
Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943.
3. Hizbullah, (Partai Allah dan Angkatan Allah),
semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda Muslimin yang dipimpin oleh
Zainul Arifin.[5]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas
dapat kami simpulkan sebagai berikut:
Islam
masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijrah atau abad ke tujuh/ke delapan masehi.
Ini mungkin didasarkan pada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang
bernama Fatimah binti Maimun di Leran dekat Surabaya yang bertahun 475 H atau
1082 M
Corak dan Perkembangan
Islam di Indonesia
·
Masa Kesulthanan
·
Masa Penjajahan
·
Gerakan dan organisasi
Islam
B.
Saran
Demikian
pembahasan dari makalah kami. Kami berharap semoga pembahasan dalam makalah ini
dapat membantu dan bermanfaat bagi pembaca. Dan kami pun berharap pula kritik
dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan dalam tugas kami selanjutnya. Sekian
dan terima kasih.
13
|
DAFTAR
PUSTAKA
Suminto,
Aqid., Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: Pustaka LP3ES.
Thohir, Ajid., Perkembangan
Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
.
[1]
Ajid
Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 292
[3]
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. hlm.303.
[5]
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 303.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar