Minggu, 06 April 2014

HUKUM PERKAWINAN ADAT KERINCI



T U G A S
Tentang
 HUKUM PERKAWINAN ADAT KERINCI

  Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada Mata pelajaran
“SENI BUDAYA”


Disusun oleh
RICA SYAFRIDA
XI IPA 2

Guru Bidang Studi :
Tagot  S.Pd


SISWA JURUSAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI
(SMAN) 4 KERINCI
T.A 2013/2014

HUKUM PERKAWINAN ADAT KERINCI

Perkawinan adalah suatu bentuk hubungan pergaulan antara pria dan wanita. Oleh karena itu ikatan perkawinan mempunyai ketentuan-ketentuan sistem dan cara yang jelas. Maka lahirlah bentuk-bentuk dan cara-cara menurut keadaan dan kondisi, cara–cara yang mereka tetapkan itu terus menerus mereka lakukan berulang-ulang setiap melangsungkan pernikahan.
Sedangkan perkawinan menurut adat kerinci bukanlah urusan kedua belah pihak penganten, tapi merupakan kewajiban kedua belah pihak orang tua, nenek mamak, dan teganai mereka. Seperti dijelaskan dalam hukum kekeluargaan, maka adalah menjadi hutang bagi orang tua terutama ayahnya untuk mengantar anaknya berumah tangga terutama terhadap anak perempuan. Disamping itu dalam masyarakat adat kerinci, perkawinan adalah suatu ikatan sakral (suci) yang mengikat kedua belah pihak penganten lahir bathin dengan jalan memenuhi ketentuan adat, syara’ dan sekarang ditambah lagi dengan undang-undang perkawinan, dengan kata lain bahwa perkawinan ini diletakkan diatas tungku bercabang tigo yaitu:
1.      Memenuhi ketentuan adat
2.      Memenuhi ketentuan syara’
3.      Memenuhi ketentuan undang-undang perkawinan
Setelah datang khususnya agama islam maka secara berangsur-angsur cara-cara dan sistem adat kebiasaan itu dipengaruhi oleh agama yang pada gilirannya menggantikan dan menyempurnakan adat.
I.         Adat Pencari Jodoh
Masyarakat Kerinci mengenal adat kebiasaan dikalangan muda-mudi disebut dengan “sakire” (kata orang Kerinci Hilir), “bamudo” (kata orang Semurup), “bakasih” (kata orang Siulak) artinya pacaran. Cara ini biasa dilakukan dengan berkirim surat, bertandang ke rumah si gadis atau jalan-jalan ke tempat rekreasi, nonton bersama dikeramaian, atau dengan sekarang ini menggunakan media komunikasi melalui HP, Catting dan sebagainya. Dahulu sebelum orang mengenal tulis baca, orang menyatakan hatinya melalui bahasa lambang dalam bentuk bunga, bertukar pakain, dan sebagainya.
Apabila proses bamudo, atau bakasih berjalan dengan lancar atau mulus, sudah mulai ada tanda kecocokan, maka langkah selanjutnya adalah batueik (melamar), yang datang melamar biasanya dari pihak pria melalui pihak ketiga sebagai utusan, utusan ini biasa dari keluarga ataupun orang lain yang dipercaya. Bila lamaran itu diterima, maka akan dilanjutkan kejenjang yang berikutnya yaitu menyerahkan “cihai” (tanda jadi) berupa pakaian, perhiasan, atau benda lainnya.
Sebagai suatu ikatan perjanjian, sudah tentu ada sanksinya, begitu pula dengan janji kawin dengan suatu tanda berupa cihai. Jika yang ingkar janji itu dari pihak si bujang, maka ia akan kehilangan cihai dan barang tersebut jatuh menjadi milik si gadis. Dan jika ingkar janji itu dari pihak si gadis maka ia harus mengembalikan 2 kali lipat cihai tersebut. Pihak yang ingkar janji harus mengadakan kenduri dengan mengundang nenek mamak, alim ulama, serta orang adat, sekaligus memeberitahukan bahwa ikatan perjanjian pertunangan telah putus dan masing-masing pihak telah kembali bebas seperti sediakala.
Adapun pemutusan ikatan janji itu atas persetujuan kedua belah pihak, apabila ada salah satu yang tidak setuju maka pemutusan janji tersebut di atas tidak berlaku.
II.      Upacara Perkawinan / Akad Nikah
Sejak tercapainya kata sepakat untuk melangsungkan perkawinan dan hari H-nya pun sudah ditetapkan, maka masing-masing pihak mulai mengadakan persiapan agar bila tiba saatnya yang ditunggu-tunggu semuanya sudah siap dan upacara pernikahan dapat dilaksanakan dengan tertib dan lancar.
Secara umum terdapat  dua macam pola upacara pernikahan:
1.      Upacara adat terpisah dengan upacara peresmian atau resepsi
2.      Upacara adat dilakukan sekaligus upacara peresmian atau resepsi.
Upacara akad (ijab qabul) dilakukan menurut perundang-undangan yang berlaku.
Adapun urutan-urutan upacara perkawinan dapat dituturkan sebagai berikut:
Menjelang hari H-nya tiba, selama kira-kira tiga hari sebelumnya adalah hari-hari sibuk bagi keluarga kedua belah pihak terutama pihak wanita. Walaupun urusan perkawinan adalah urusan keluarga kedua belah pihak, namun yang paling sibuk adalah pihak wanita karena kegiatan itu dipusatkan ke rumah wanita. Kesibukan diawali dengan menyiapkan undangan dan menyampaikan ke alamatnya. Undangan pernihakan ada dua macam yaitu:
a.       Undangan umum yaitu undangan yang ditujukan kepada seluruh warga desa dan sebagainya
b.      Undangan khusus yaitu undangan yang ditujukan kepada orang tertentu menurut adat setempat.
Apabila akad nikah dipisahkan dengan acara peresmian maka acara akad hanya diadakan kenduri secara kecil saja,  sedangkan resepsi yang sesungguhnya akan dilaksanakan beberapa hari kemudian dan disaat itulah upacara adat akan dilakukan seperti penyampaian sparno adat, pemberian gelar dan sebagainya.
Walaupun akad nikah telah dilaksanakan, namun mempelai pria belum diperkenankan tinggal di rumah pengantin wanita, ia dibawa oleh pengiring-pengiringnya kembali ke rumah orang tuanya sampai datang jemputan dari pengantin wanita. Jemputan itu dilakukan biasa dilakukan pada esok harinya, dimana pengantin wanita ditemani oleh seorang wanita setengah baya. Jemputan itu disebut “jemputan terbawa” artinya pengantin wanita pulang membawa pengantin pria.
III.        Harta Perkawinan
Yang dimaksud dengan harta perkawinan disini adalah keseluruhan harta yang diperoleh atau terhimpun selama perkawinan meliputi harta bawaan, harta pencaharian bersama suami isteri dan harta tetapan.
a.       Harta bawaan adalah harta yang dibawa suami ke rumah isterinya (atau sebaliknya), harta itu biasanya hasil usaha ketika masih bujangan (harta pemujang), harta warisan, hadiah dan sebagainya.
b.      Harta pencaharian bersama suami isteri adalah harta hasil pencaharian suami isteri yang berkumpul selama perkawinan, tidak peduli siapa yang bekerja atau berusaha, apabila suami berusaha di luar rumah, si isteri di dalam rumah ataukah kedua-duanya sama-sama berusaha “kedarat sama-sama kering ke air sama-sama basah, sehilir semudik”.
c.       Harta tetapan adalah harta yang didapati pada isteri. Harta itu biasanya berupa hasil usahanya ketika masih gadis (harta gadih), harta warisan, hadiah dan sebagainya.
Sekiranya terjadi perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati, maka harta pencaharian itu dibagi dua, masing-masing memperoleh seperdua, jika ada anak maka harta jatuh pada anak mereka. Ada juga beberapa desa atau keluarga apabila tidak ada anak, harta itu lebih dahulu dibagi dua.
Apabila suami beristeri lebih dari satu, maka harta pencaharian (harta cahin) pada isteri pertama akan terpisah dari harta pencaharian dengan isteri kedua dan seterusnya. Pepatah adat mengatakan: duo pelak duo kandang, duo penunggu duo ungguk, pelak bakandang bapamatang”. Maksudnya seseorang mempunyai dua isteri maka harta pencahariannya dua tumpuk dengan batas-batas yang jelas pula.
IV.   Perceraian, Akibat-Akibat dan Penyelesaiannya
Perceraian pada umumnya disebabkan oleh ketidak cocokan atau ketidak setujuan atau ketidak serasian pendapat, pandangan atau sikap dan tingkah laku antara pasangan suami isteri atau antara keluarga mereka.
1.      Cerai hidup
Sekalipun peraturan perundang-undangan telah menetapkan alasan-alasan perosedur perceraian, namun sebelum perkara sampai ke pengadilan masih tetap terbuka kemungkinan untuk melakukan upaya-upaya mencari penyelesaian damai secara adat, bahkan itu dianjurkan. Disinilah pentingnya peran teganai dan nenek mamak. Apabila perselisihan suami isteri sudah sampai pada titik yang tidak memungkinkan lagi mereka dipertemukan, maka sebaiknya suami “mengalah” dulu dan mengungsi untuk sementara ke rumah orang tua atau sanak familinya.
Mengenai alasan-alasan untuk cerai seperti tercantum dalam perundang-undangan adalah sesuai alasan menurut adat, namun ada satu alasan yang dapat diterima yaitu kehendak kedua belah pihak suami isteri atas dasar mau sama-sama bercerai, itu biasa terjadi umpamanya pasangan suami isteri tersebut telah bertahun tahun bersama tapi tidak juga dikaruniai keturunan setelah upaya-upaya yang dapat dilakukan dilaksnakan namun tidak berhasil juga, sehingga tidak tercapai kebahagiaan berumah tanggga.
Apabila suami isteri yang bercerai itu mempunyai anak yang dibawah umur terutama yang masih menyusui tetap tinggal bersama Ibunya sedangkan biaya/ nafkah ditanggung oleh pihak Bapak/ mantan suaminya. Dalam hal ini, jika anak lebih dari satu, umumnya dibagi atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Biasanya anak perempuan ikut Ibunya sedangkan anak laki-laki ikut Bapaknya.  
2.      Cerai mati
Apabila putusnya tali perkawinan itu, disebabkan oleh salah satu meninggal dunia, si anak (kalu ada) otomatis ikut pada pihak yang masih hidup, kecuali ada alasan misalnya yang meninggal si isteri sedangkan si ayah tidak memungkinkan membawa anaknya karena kondisi sosial ekonomi yang kurang menguntungkan, maka si anak ikut kepada kerabat terdekat atau keluarga yang memungkinkan atau menguntungkan bagi si anak. Apabila kedua suami isteri meninggal dunia ada meninggalkan anak yang belum bisa mengurus dirinya sendiri, maka si anak akan diikutkan kepada keluarga yang ditunjuk oleh kaum keluarganya dengan memperhatikan kepentingan si anak, baik menegenai dirinya, pendidikannya, dan harta bendanya. Bisanya yang ditujuk itu adalah keluarga pamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar