BAB I
PENDAHULUAN
Pada masa
Rasulullah Saw., permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik dan
pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila
ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal
tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi,
setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam
memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak
ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang
muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.
Sumber Hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam
karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Tetapi Ada
juga dalil-dalil lain selain Al-Quran dan Sunnah yang disebut pula sebagai
metode dalam menentukan hukum syar’i amali.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan Ijma
sebagai metode penggalian hukum umat islam. Bahasan dalam makalah ini berkaitan
dengan pengertian, syarat dan rukun, kehujjahan,dan macam-macam Ijma dan Qiyas.
1
|
BAB II
PEMBAHASAN
IJMA’ DAN QIYAS
I. Pengertian, Syarat, Rukun, Macam dan
Kehujjahan Ijma’
A. Pengertian Ijma’
Pengertian ijma’ secara etimologi ada dua macam, yaitu[1]:
1.
Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus,
Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf ayat 15:
Artinya: ” Maka tatkala mereka
membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia) .....”
(Q.S. Yusuf: 15).
2.
Ijma’ berarti tekad atau niat,
yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini bisa ditemukan
dalam firman Allah SWT dalam surah Yunus ayat 71:
Artinya: ”Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (Q.S. Yunus: 71).
Adapun pengertian dari Ijma’ penulis akan mengemukakan
beberapa definisi, yaitu
Imam
Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara khusus
tentang atas suatu urusan agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan
bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW, yaitu seluruh umat islam.[2]
2
|
Dengan demikian pemakalah menyimpulkan Ijma’ adalah
kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah
Saw, akan suatu hukum syariat.
B. Syarat-syarat dan Rukun Ijma’
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat kita pahami
bahwa ijma’ mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak dianggap ijma’. Belum juga kesepakatan
Islam yang belum mencapai derajat mujtahid fiqih, meskipun mereka berasal dari
tokoh ulama dalam disiplin ilmu lain. Sebab, mereka tidak mempunyai kemampuan
untuk menalar dan mengambil dalil tentang hukum perkara-perkara syariat Islam.
Al-Asnawi berkata, “Maka tidak dianggap
ijma’ kesepakatan orang awam dan ulama yang berdisiplin ilmu lain, karena
kesepakatan mereka dalam hal ini tanpa dasar dan mereka bukanlah termasuk
orang-orang mengetahui dalil-dalilnya.”
Fakhrur Razi berkata, “ Karena orang-orang
yang bersepakat itu bukanlah orang-orang yang mengerti bagaimana
mengistinbatkan hukum dari nas-nasnya, maka kesepakatan mereka yang berupa
perintah dan larangan tidak perlu diikuti.
2.
Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan
seluruh mujtahid meskipun negara dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini
tidak diingkari oleh seorang mujtahid pun. Maka jika ada sebagian mereka yang
berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas, meskipun seorang saja yang berbeda
pendapat itu, maka tidak bisa dikatakan Ijma’.
3. Hendaklah kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada pada
masa terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya, Oleh
karena itu, tidak diisyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada
masa berikutnya.
4. Kesepakatan para mujtahid itu hendaklah harus terjadi sesudah Rasulullah
SAW wafat. Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalam hukum suatu
perkara, ketika Nabi SAW masih hidup, maka kesepakatan mereka itu tidak bisa
dinamakan ijma’ syar’i.
5. Kesepakatan itu hendaklah dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang
dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok
dalam satu tempat, di mana sebelumnya juga terjadi perdebatan mengenai masalah
yang ada, tetapi berakhir dengan diperolehnya satu pendapat bulat.
6.
Hendaknya kesepakatan para mujtahid di
atas satu pendapat itu, benar-benar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya
saja. Betul-betul terjadi kebulatan pendapat.[4]
Jika semua persyaratan di atas terpenuhi
dan disepakati para mujtahid atas hukum syara’ yang amali, seperti wajib,
haram, sah, maka terjadilah ijma’.
Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut:
1.
Yang terlibat dalam pembahasan hukum
syara’ melalui ijma tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara
mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang
dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid
yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pandangannya.
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual
dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an
5.
Sandaran hukum ijma’ tersebut secara
haruslah Al-Qu’an dan atau hadis Rasulullah SAW.[5]
C.
Kehujjahan Ijma’
Firman Allah surah An-Nisa ayat 115:
Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia dalam neraka jahanam, dan jahanam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An-Nisa : 115).
Zamakhsari mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan
sebagaimana tak boleh diperselisihkan Al-Quran dan Sunah. Sedang Amidi
mengomentari bahwa ayat ini merupakan ayat yang kuat petunjuknya tentang
kehujjahan ijma’ dan dengan ayat inilah Imam Syafi’i berpegang.[6]
D.
Macam-macam Ijma’
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua,
yaitu Ijma’ Sharih (tegas) dan Ijma’Sukuti (persetujuan
yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).[7]
Ijma’ Sharih adalah yaitu ijma’ yang
terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya tentang
hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya
disebarkan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan
(mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh
pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut.[8]
Sedangkan Ijma’ sukuti adalah bahwa
sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya
hanya diam tanpa komentar.
Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang
Ijma’ sukuti ini. Menurut Imam Syafii dan kalangan Malikiyah,
ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya,
diamnya sebagian ulama para mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa
jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung oleh
penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat
mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior.[9]
Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, Ijma’
sukuti adalah sah dijadikan sumber hukum. Alasannya, bahwa diammnya sebagian
ulama mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju
dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Manakala mereka tidak
menentangnya secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka menyetujuinya.
Sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya
sebagian ulama mujtahid tidak dapat dikatakan telah Ijma’, namun pendapat
seperti itu dianggap lebih kuat dari pendapat perorangan.[10]
II. Pengertian, Syarat, Rukun, Macam dan
Kehujjahan Qiyas
A. Pengertian Qiyas
Qiyas secara bahasa adalah ukuran atau
mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain[11]
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang
tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada
persamaan illat hukum. Karena dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah
mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalam
hukum Islam kadang tersurat jelas dalam al-quran dan hadits, tapi kadang juga
bersifat implicit-analogik (tersirat) yang terkandung
dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa
pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya”. Namun jika
tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari dengan cara ijtihad.
Dan ijtihad itu adalah qiyas.[12]
B. Rukun dan Syarat Qiyas
Rukun
Qiyas, yaitu:
1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu
peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga
maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan),
atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
2. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu
peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah
(yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang
telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada
fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
4. 'Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada
ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada
fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama
dengan hukum ashal.
Di atas telah diterangkan
rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1. Syarat-syarat
ashal (soal-soal pokok)
a.
Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih
ada pokoknya
b.
Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara’
c.
Hukum pokok tidak merupakan huku pengecualian,
seperti sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan minum
2. Syarat-syarat
fara’ (cabang)
a.
Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum
pokok, misalnya mengqiayaskan wudlu dengan tayamun
b.
Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang
menurut ulama ushul berkata, apabila datang nash, qiyas menjadi batal
c.
Illat yang terdapat pada cabang harus sama
dengan illat yang terdapat pada pokok
d.
Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok
3. Syarat-syarat
illat
a.
Illat
harus tetap berlaku
b.
Illat
berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika terdapatnya illat tanpa mengganggu sesuatu yang
lain. sebab adanya illat tersebut
adalah demi kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai illat wajibnya qishas
c.
Illat
tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan maka nash yang didahulukan
d.
Illat
harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu
C.
Macam-Macam Qiyas
a.
Qiyas aula
Yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan
adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq)
dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya (mulhaq bih), misanya memukul kedua orang
tua dengan mengatakan “ah” kepadanya
b.
Qiyas musaw, i
Yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum yang
terdapat pada mulhaq nya sama dengan illat hukum yang terdapat dalam mulhaq bih. Misalnya merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan
harta anak yatim, yakni sama –sama merusakkan harta
c.
Qiyas dalalah
Yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya,
seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta orang dewasa dalam
kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat
bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah
d.
Qiyas syibhi
Yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan
mulhaq bih yang mengandung banyak persamaaannya dengan mulhaq. Misanya seorang
hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang.[13]
D. Kehujjahan Qiyas
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman.
Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur
‘an) dan rasul (sunnah) jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari
kemudian. (An-Nisa’:59)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Ijma’ adalah kesepakatan dari umat Islam
pada hukum Syar’i, dalam hal ini adalah para mujtahid dalam suatu masa, sesudah
wafat Rasulullah SAW, akan suatu hukum syariat yang amali.
Adapun Syaratnya harus berupa kesepakatan para
mujtahid Islam. meskipun negara dan kebangsaan mereka berbeda, yang ada pada
masa terjadinya masalah fiqihyah dan harus terjadi
sesudah Rasulullah SAW wafat. Kehujjahannya dari Firman Allah surah An-Nisa
ayat 115 dan 59.
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua,
yaitu Ijma’Sarih (tegas) dan Ijma’Sukuti (persetujuan
yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).
Proses
pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan sesuatu yang serupa karena
prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yang sama. Asas qiyas
adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab
dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan maka
konsekuensi hukumnya harus sama pula dengan hukum yang ditetapkan
Kalau untuk
qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai metode ijtihad
ulama dalam pengambilan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 2, Cet II,
Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Effendi, Satria, M Zein, Ushul Fiqh, Ed.
1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005.
Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1,
Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.
Zahrah,
Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka
Firdaus.
[1]Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet
II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h.
73-74.
[3] Haji Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta :
Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 115.
[4]Ibid,
h. 77-78
[5]
Ibid, h.78
[10] Ibid.
[11] Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka
Setia, 2001, h. 93.
[13]
Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka
Setia, 2001, h. 99-101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar