Minggu, 06 April 2014

makalah pengertian ijma' dan qiyas



BAB I
PENDAHULUAN

Pada masa Rasulullah Saw., permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.
Sumber Hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Tetapi Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Quran dan Sunnah yang disebut pula sebagai metode dalam menentukan hukum syar’i amali.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan Ijma sebagai metode penggalian hukum umat islam. Bahasan dalam makalah ini berkaitan dengan pengertian, syarat dan rukun, kehujjahan,dan macam-macam Ijma dan Qiyas.










1
 
BAB II
PEMBAHASAN
IJMA’ DAN QIYAS
I.     Pengertian, Syarat, Rukun, Macam dan Kehujjahan Ijma’
A.    Pengertian Ijma’
Pengertian ijma’ secara etimologi ada dua macam, yaitu[1]:
1.      Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf ayat 15:

Artinya: ” Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia) .....” (Q.S. Yusuf: 15).
2.      Ijma’ berarti tekad atau niat, yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini bisa ditemukan dalam firman Allah SWT dalam surah Yunus ayat 71:

Artinya: ”Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (Q.S. Yunus: 71).
Adapun pengertian dari Ijma’ penulis akan mengemukakan beberapa definisi, yaitu
            Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang atas suatu urusan agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW, yaitu seluruh umat islam.[2]
2
            Dari rumusan itu jelaslah bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah muhtahid muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama Nabi masih hidup, al-Qur’an yang menjawab persoalan hukum karena ayat al-Qur’an kemungkinan turun dan Nabi sendiri sebagai tempat bertanya tentang hukum syara’, sehingga tidak diperlukan adanya ijma’, ijma’ itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada masa itu, dan bukan berarti kesepakatan mujtahid semua sampai hari kiamat.[3]
Dengan demikian pemakalah menyimpulkan Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah Saw, akan suatu hukum syariat.

B.     Syarat-syarat dan Rukun Ijma’
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat kita pahami bahwa ijma’ mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak dianggap ijma’. Belum juga kesepakatan Islam yang belum mencapai derajat mujtahid fiqih, meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam disiplin ilmu lain. Sebab, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menalar dan mengambil dalil tentang hukum perkara-perkara syariat Islam.
Al-Asnawi berkata, “Maka tidak dianggap ijma’ kesepakatan orang awam dan ulama yang berdisiplin ilmu lain, karena kesepakatan mereka dalam hal ini tanpa dasar dan mereka bukanlah termasuk orang-orang mengetahui dalil-dalilnya.”
Fakhrur Razi berkata, “ Karena orang-orang yang bersepakat itu bukanlah orang-orang yang mengerti bagaimana mengistinbatkan hukum dari nas-nasnya, maka kesepakatan mereka yang berupa perintah dan larangan tidak perlu diikuti.
2.      Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid meskipun negara dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang mujtahid pun. Maka jika ada sebagian mereka yang berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas, meskipun seorang saja yang berbeda pendapat itu, maka tidak bisa dikatakan Ijma’.
3.      Hendaklah kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada pada masa terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya, Oleh karena itu, tidak diisyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa berikutnya.
4.      Kesepakatan para mujtahid itu hendaklah harus terjadi sesudah Rasulullah SAW wafat. Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalam hukum suatu perkara, ketika Nabi SAW masih hidup, maka kesepakatan mereka itu tidak bisa dinamakan ijma’ syar’i.
5.      Kesepakatan itu hendaklah dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok dalam satu tempat, di mana sebelumnya juga terjadi perdebatan mengenai masalah yang ada, tetapi berakhir dengan diperolehnya satu pendapat bulat.
6.      Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu, benar-benar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi kebulatan pendapat.[4]
Jika semua persyaratan di atas terpenuhi dan disepakati para mujtahid atas hukum syara’ yang amali, seperti wajib, haram, sah, maka terjadilah ijma’.
Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut:
1.      Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’
2.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3.       Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4.       Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an
5.      Sandaran hukum ijma’ tersebut secara haruslah Al-Qu’an dan atau hadis Rasulullah SAW.[5]

C.    Kehujjahan Ijma’
Firman Allah surah An-Nisa ayat 115:


Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia dalam neraka jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An-Nisa : 115).
Zamakhsari mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan sebagaimana tak boleh diperselisihkan Al-Quran dan Sunah. Sedang Amidi mengomentari bahwa ayat ini merupakan ayat yang kuat petunjuknya tentang kehujjahan ijma’ dan dengan ayat inilah Imam Syafi’i berpegang.[6]

D.    Macam-macam Ijma’
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’ Sharih (tegas) dan Ijma’Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).[7]
Ijma’ Sharih adalah yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya disebarkan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan (mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut.[8]
Sedangkan Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang Ijma’ sukuti ini. Menurut Imam Syafii dan kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagian ulama para mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior.[9]
Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, Ijma’ sukuti adalah sah dijadikan sumber hukum. Alasannya, bahwa diammnya sebagian ulama mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka menyetujuinya.
Sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian ulama mujtahid tidak dapat dikatakan telah Ijma’, namun pendapat seperti itu dianggap lebih kuat dari pendapat perorangan.[10]

II.  Pengertian, Syarat, Rukun, Macam dan Kehujjahan Qiyas
A.    Pengertian Qiyas
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Karena dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalam hukum Islam kadang tersurat jelas dalam al-quran dan hadits, tapi kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat) yang terkandung dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya”. Namun jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari dengan cara ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.[12]

B.     Rukun dan Syarat Qiyas
Rukun Qiyas, yaitu:
1.      Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
2.      Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3.      Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
4.      'Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.

Di atas telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Syarat-syarat ashal (soal-soal pokok)
a.       Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada pokoknya
b.      Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara’
c.       Hukum pokok tidak merupakan huku pengecualian, seperti sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan minum
2.      Syarat-syarat fara’ (cabang)
a.       Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok, misalnya mengqiayaskan wudlu dengan tayamun
b.      Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut ulama ushul berkata, apabila datang nash, qiyas menjadi batal
c.       Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat yang terdapat pada pokok
d.      Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok
3.      Syarat-syarat illat
a.       Illat harus tetap berlaku
b.      Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika terdapatnya illat tanpa mengganggu sesuatu yang lain. sebab adanya illat tersebut adalah demi kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai illat wajibnya qishas
c.       Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan maka nash yang didahulukan
d.      Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu

C.    Macam-Macam Qiyas
a.       Qiyas aula
Yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya (mulhaq bih), misanya memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah” kepadanya
b.      Qiyas musaw, i
Yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum yang terdapat pada mulhaq nya sama dengan illat hukum yang terdapat dalam mulhaq bih. Misalnya merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama –sama merusakkan harta
c.       Qiyas dalalah
Yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta orang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah
d.      Qiyas syibhi
Yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaaannya dengan mulhaq. Misanya seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang.[13]
D.    Kehujjahan Qiyas
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian. (An-Nisa’:59)














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pengertian Ijma’ adalah kesepakatan dari umat Islam pada hukum Syar’i, dalam hal ini adalah para mujtahid dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW, akan suatu hukum syariat yang amali.
Adapun Syaratnya harus berupa kesepakatan para mujtahid Islam. meskipun negara dan kebangsaan mereka berbeda, yang ada pada masa terjadinya masalah fiqihyah dan harus terjadi sesudah Rasulullah SAW wafat. Kehujjahannya dari Firman Allah surah An-Nisa ayat 115 dan 59.
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’Sarih (tegas) dan Ijma’Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus sama pula dengan hukum yang ditetapkan
Kalau untuk qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.











DAFTAR PUSTAKA

Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Effendi, Satria, M Zein, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005.

Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.

Zahrah, Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus.



[1]Chaerul Uman,  Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 73-74.
[2] Ibid., h. 74
[3] Haji Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 115.
[4]Ibid, h. 77-78
[5] Ibid, h.78
[6]  Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 81.
[7] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005,  h. 129.
[8] Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, h.135.
[9] Ibid
[10] Ibid.
[11] Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 93.
[12] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 336.
[13] Chaerul Uman, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 99-101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar